Kamis, 24 Juni 2010

EMBUN DHARMA

THE POWER OF LOVE

Oleh: Asep Ramadhan

Namo Sanghyang Adi Buddhaya, Namo Buddhaya,

Saudara-saudari Sedharma yang berbahagia, selamat siang, sungguh berbahagia karena pada siang hari ini berkat karma baik kita dapat bersama-sama berkumpul di tempat ini untuk berbuat karma baik, mendengarkan sedikit uraian dharma yang akan saya sampaikan. Saya harap saudara-saudari dapat mendengarkan dan meresapinya dengan khidmat. Sehingga timbullah sedikit kecerahan di dalam hati kalian semuanya. Ceramah pada kesempata kali ini saya akan membahas tema yang sesuai untuk anda semua para kawula muda yakni: THE POWER OF LOVE, yang mudah-mudahan dapat menginspirasi anda semua.

Pesona cinta memang menarik bagi siapa saja. Kata orang; dunia tanpa cinta ‘ibarat sayur tanpa garam” terasa hambar. Cinta, sejuta rasa, sejuta pesona bagi sebagian orang dan sebagian orang lagi, cinta sangat memuakkan. Benarkah demikian? Jawabannya ada di dalam diri kita masing-masing. Cerita cinta masing-masing orang tentunya berbeda-beda, tergantung bagaimana mereka memaknai cinta sesuai dengan kondisi batin orang tersebut. Kata "cinta" menjadi perbincangan menarik bagi setiap orang, terutama kalangan anak muda. Cinta sering disamakan dengan ketertarikan antara lawan jenis. Banyak orang yang mengagung-agungkan cinta, sehingga terkadang mereka rela untuk bunuh diri hanya gara-gara mempertahankan cintanya. Cerita-cerita tentang cinta menjadi legenda tersendiri bagi setiap orang dan kadang orang meniru gaya cinta dari cerita-cerita cinta tersebut. Umpamanya, kisah cinta Roro Mendut dan Pronocitro, Kisah Rama dan Sinta, kisah cinta Romeo dan Juliet, dan masih banyak cerita tentang kisah cinta yang lain. Kisah cinta di atas menjadi motivasi tersendiri bagi orang yang lagi dirundung cinta.
Orang yang lagi mabuk cinta akan mengatakan cinta itu indah, cinta itu membawa kesejukan dan segudang kata indah yang lainnya. Bagi orang yang dikecewakan oleh pasangannya akan mengatakan; cinta itu menyakitkan, cinta itu membuat penderitaan dan segudang kata sedih tentang cerita cinta. Ada juga yang berpendapat bahwa cinta itu semu.

Disetiap hubungan cinta, selalu ada kemungkinan terjadinya perpisahan. Dalam setiap kejadian putusnya hubungan cinta, ada rasa sakit, terutama ketika perasaan telah bertaut sangat erat. Tautan emosional harus diputuskan cepat atau lambat, dan setiap kali diputuskan, kedua belah pihak yang terlibat harus terluka sedikit. Orang harus menerima kenyataan, bahwa kadang-kadang ia adalah subyek emosi yang bergejolak. Ingatan terhadap hal-hal yang telah dikatakan dan dilakukan tiba-tiba muncul dan memenuhi seseorang yang memenuhi tumpahan emosi. Saat cinta tumbuh dalam diri seseorang terhadap orang yang dicintainya akan muncul keterikatan yang justru memunculkan masalah baru. Cinta kita masih terikat oleh nafsu belaka yang akhirnya memunculkan penderitaan. Bagi orang yang dengan penuh perhatian mengembangkan cinta kasih yang tak terbatas, denganmelihat hancurnya kemelekatan belenggu-belenggu pun akan musnah. (Itivuttaka.27)

Tidak sedikit orang yang menderita akibat putus cinta, mereka linglung, tidak ada gairah hidup, putus asa, bahkan ada yang nekat bunuh diri.. Angan-angan yang membahagiakan yang dulu pernah dirasakan jangan sampai berubah, itulah yang mereka inginkan, wajar jika saat terjadi perubahan banyak orang yang menderita shock. Pada saat shock, tentunya hal-hal yang dilakukan mengarah pada hal negatif, ada yang bunuh diri secara fisik, ada yang bunuh diri secara emosi dengan menjadi gila dan ada pula yang menolak untuk menikah dan tidak mau jatuh cinta lagi. Mengapa semua itu harus terjadi? Mengapa mereka melakukan cara-cara yang salah untuk menyelesaikan masalah? Itu karena mereka belum mengembangkan pengertian terhadap ketidakpastian hidup, dan terperangkap dalam kebisingan emosi. Mereka menumbuhkan kemelekatan dan harapan yang berlebihan. Demikian pula,dengan cinta terkadang memberikan kesejukan diantara kedua belah pihak, mereka bisa saling setia, saling menghormati, dan tidak ada sifat mementingkan diri sendiri sehingga kedewasaan muncul. Sebaliknya cinta juga akan berubah menjadi sarang penderitaan, mereka saling menyalahkan, bertindak ceroboh, ego yang dimunculkan, perselisihan selalu muncul, saling benci dan bahkan ada yang nekad untuk bunuh diri, pendek kata ketidakbahagiaan selalu akan muncul. Kalau begitu, untuk apa mengembangkan cinta, jika hanya memunculkan kebahagiaan sementara, sesaat menyenangkan, sesaat kemudian menjengkelkan? Tentunya jangan berpikir sependek itu, kita harus berpikir panjang tentang fenomena hidup yang akan kita hadapi. Kita harus berpikir apakah hanya sebatas itu, cinta yang kita kembangkan, cinta itu hanyalah sebatas tali kasih antara seorang laki-laki dengan perempuan. Sebenarnya jika kita mau mendalami lebih dalam tentang apa yang dimaksud dengan cinta (sesuai dengan Dhamma), maka kita akan mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang cinta yang sebenarnya. Saat cinta sejati tumbuh di dalam diri kita, kenapa harus takut dengan perubahan. Cinta sejati tumbuh karena pengertian dan pemahaman kehidupan. Karena itu, janganlah mencintai, karena perpisahan itu membawa penderitaan. Oleh sebab itu janganlah mencintai apapun, karena berpisah dengan apa yang dicintai adalah menyedihkan. Tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas dari mencintai dan tidak mencintai (Dhammapada XVI:3).

Cinta menurut pandangan Buddhis: Terkadang kata cinta mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang. Cinta kasih, menurut Buddhisme tidak berarti kemelekatan terhadap seseorang atau suatu benda. Cinta seharusnya merupakan welas asih yang kekal dalam pengorbanan diri, yang bebas menghinggapi siapa saja. Cinta adalah tempat di mana orang yang dicintai tumbuh. Ia memperkaya orang lain tanpa membatasi maupun menghalanginya. Cinta mengangkat kemanusiaan, cinta tidak memilih. Ada orang berpikir bahwa cinta adalah sesuatu untuk diterima, tetapi pada dasarnya cinta adalah proses memberi. Dalam menumbuhkan cinta, mulailah dari rumah, ayah dan ibu, anggota keluarga, kawan, tetangga, semua orang, semua mahkluk bahkan kepada musuh-musuh kita. Tumbuhkan cinta dan kesetiaan kepada mereka semua tanpa kecuali. Sama seperti air yang memberikan kesejukan, kepada yang baik maupun yang buruk, serta mencuci kotoran dan debu. Dengan cara yang sama, hendaknya engkau mengembangkan pikiran cinta kasih kepada teman dan lawan tanpa perbedaan. Setelah mencapai kesempurnaan dalam cinta kasih, engkau akan mencapai pencerahan (Jataka Nidanakatha168-169).

“cinta kasih tidak cinta tidak dikasih” merupakan sebuah plesetan yang sering saya dengar dikalangan umat Buddha, Mengembangkan cinta tidak selalu berarti memberikan hadiah, melainkan kelemahlembutan dan jiwa yang murah hati. Cinta adalah berkah yang bisa dilihat orang buta dan didengar orang tuli. Selama masih ada orang yang bisa anda hibur dengan kata-kata, yang bisa anda ceriakan dan gembirakan dengan kehadiran anda, betapa tak penting dan sepele pun hal itu. Satu ciri orang yang penuh cinta adalah ia memiliki hati yang welas asih. Kita harus mengembangkan kebiasaan menolong orang-orang yang kesusahan dan mereka yang kurang beruntung. Orang mesti tidak hanya simpati secara emosional, tetapi juga berusaha mengalihkan perasaan itu dalam tindakan berguna. Tindakan yang nyata amat berguna bagi setiap orang, itulah wujud cinta yang sebenarnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian yang tulus adalah cinta yang sebenarnya.

Cerita Cinta seorang Ibu kepada anak tunggalnya Dalam Karaniya Metta Sutta Buddha selalu mengibaratkan cinta kasih (metta) seperti seorang ibu yang mengasihi anak tunggalnya. Selama mengandung sang ibu mengalami hal-hal yang terkadang sulit, setelah melahirkan sang ibu juga masih setia menemani anaknya. Bukan hanya materi bahkan jiwapun dipertaruhkan demi kebahagiaan seorang anak. Sang ibu hanya mengharapkan anaknya bahagia, oleh karena itu dengan ketulusan sang ibu merawat anaknya dengan baik, walaupun terkadang anaknya membuat sang ibu menjadi tersiksa.
Ada cerita yang bisa menjadi gambaran bagi kita untuk mengetahui seberapa jauh cinta seorang ibu kepada anaknya. “Pada kehidupan yang lalu ada kisah dua orang wanita yang sedang berebut bayi. Tidak diketahui siapa sesungguhnya ibu dari bayi tersebut. Kemudian bayi tersebut dibawa ke guru Mahausadha. Bayi itu kemudian ditempatkan terpisah dari kedua wanita tersebut. Selanjutnya guru Mahausadha memerintahkan kedua wanita itu untuk mengambil bayi yang diperebutkan itu dan barang siapa dapat mengambil, maka itulah ibu yang sejati. Kedua wanita itu saling meraih bayi dan terjadilah peristiwa saling tarik-menarik sehingga bayi itu menangis. Salah satu dari kedua wanita tersebut mejadi iba dan kemudian melepaskan pegangannya itu.”
Seorang ibu yang sejati tentunya tidak akan tega jika anaknya mengalami penderitaan. Dia tahu kalau melepaskan pegangan anaknya, maka anaknya akan menjadi anak orang lain, tetapi ketulusan dan cinta kasih membuat ibu tadi tidak rela menyakiti anaknya sendiri. Justru apapun yang terjadi, asal dapat memberikan kebahagiaan bagi sang anak, maka ibu yang sejati akan melakukan yang terbaik bagi anaknya. Di saat itulah diketahui siapa ibu yang sejati, akhirnya bayi tadi dikembalikan kepada ibu yang sejati “.

Dari kedua uraian di atas jelas bahwa cinta itu sebenarnya adalah bentuk dari pelepasan ego kita. Namun kadang orang salah mengerti, bukannya melepas ego, tetapi malah mempertinggi egonya. Dengan alasan cinta, terkadang kita menuntut kepada orang yang kita cintai. Sebagai contoh; kita selalu menuntut pasangan kita untuk selalu sesuai dengan harapan kita, tentunya pasangan kita bukannya bahagia, justru menderita, apa ini yang dinamakan cinta? Contoh yang lain, terkadang orangtua selalu menuntut anaknya untuk menjadi anak yang terbaik tanpa mengukur kemampuan anak tersebut, akhirnya anaknya menjadi stres gara-gara tuntutan orangtuanya tadi. Penafsiran yang salah ini justru akan membuat orang lain menjadi sengsara dan hanya untuk menyenangkan diri sendiri. Ada ungkapan; cinta tidak harus memiliki, memang benar, kalau kita mau menolong orang lain, membuat orang lain gembira, perhatian dan bertindak sopan serta lemah lembut kepada orang lain, maka sebenarnya cara ini adalah cara mengungkapkan cinta yang sebenarnya. Pemberian yang disertai dengan ketulusan dalam bentuk apa saja adalah bentuk dari cinta yang murni (metta), sekali lagi cinta itu melepas dan tanpa tuntutan. Dari cinta timbulah kesedihan, dari cinta timbullah ketakutan, seseorang yang terbebas dari cinta, tidak akan mengalami ketakutan dan kesedihan (Dhammapada, XVI:4)

Saudara-saudari sedharma, demikianlah uraian mengenai tentang kekuatan cinta sejati, THE POWER OF LOVE, semoga bermanfaat bagi kehidupan kita dalam mencintai dan memberikan cinta kepada orang-orang yang memerlukan cinta yang universal, selamat siang Namo Sanghyang Adi Buddhaya. Namo Buddhaya.(post by: komangs)